Rabu, 28 Desember 2011

Arti dan Pembagian Masa Dewasa

Arti dan pembagian masa dewasa

Menurut dari segi hukum dewasa adalah dimulai sejak seseorang menginjak usia 21 tahun meskipun belum menikah atau sejak seseorang menikah meskipun belum berumur 21 tahun
Menururt dari lingkup pendidikan dewasa adalah jika seseorang telah mencapai kemasakan kognitif, afektif dan psikomotor sebagai hasil ajar latih yang ditunjang kesiapan.
Menurut dari segi biologis dan psikologis masa dewasa sebagai suatu keadaan bertumbuhnya ukuran-ukuran tubuh dan mencapai kekuatan maksimal serta siap berproduksi.

Dewasa dan matang secara psikologis
Dewasa boleh dikenakan kepada individu-individu yang telah memiliki kekuatan tubuh secara maksimal dan siap berproduksi dan telah dapat diharapkan memiliki kesiapan kognitif, afektif dan psikomotor serta dapat diharapkan memainkan peranannya bersama dengan individu-individu lain dalam masyarakat.
Rumusan diatas mengundang untuk memperhatikan apa yang ditekankan yaitu istilah yang diharapkan, penekanan ini dimaksudkan bahwa orang dewasa itu baru memiliki kemungkinan-kemungkinan untuk memiliki sesuatu sifat atau sesuatu keadaan atau sesuatu cirri.
Ciri kematangan menurut Anderson, yaitu :
1. Berorientasi pada tugas
2. Tujuan-tujuan yang jelas dan kebiasaan-kebiasaan kerja efisien.
3. Mengandalikan perasaan pribadi
4. Keobjektifan
5. Menerima kritik dan saran
6. Pertanggungjawaban terhadap usia-usia pribadi
7. Penyesuaian yang realistis terhadap situasi-situasi baru.
Melihat ciri-ciri kematangan menurut Anderson diatas dapat bahwa orang dewasa belum tentu memiliki kematangan psikis, kedudukan dewasa dibandingkan matang secara psikis mengenai seseorang dijelaskan dengan uraian Anderson berikut ini :
Rumusan negatif dalam memberikan batasan kematangan adalah mereka yang memberikan perilaku yang tidak matang adalah lepas dari kebiasaan-kebiasaan dan sikap-sikap yang bertanggung jawab lebih –lebih lagi masyarakat kebanyakan berbicara tentang beberapa perilaku dewasa yang kekanak-kanakan.
Bagi orang-orang yang tidak mempunyai pendirian umumnya juga disebut tidak matang sebab anak-anak muda berpindah dari satu minat keminat lain, yang bagi orang-orang tua cenderung untuk tetap pada jabatan selama ia dapat melakukannya, suatu ketidak stabilan emosi bagi seseorang juga dapat dikatakan tidak matang sebab anak-anak kebanyakannya lebih menunjukkan reaksi emosi yang ekstrem dibandingkan orang dewasa.
Pembagian masa dewasa
Untuk melihat secara terperinci pembagian masa-masa kehidupan orang dewasa dapat dilihat dari teori yang dikemukakan oleh Hurlock berikut :
1. Masa dewasa atau “early adulthood awal terbentang sejak tercapainya kematangan secara hukum sampai kira-kira usia empat puluh tahun ( dialami seseorang sekitar 20 tahun )
2. Masa setengah baya atau “middle age” yang umumnya dimulai pada usia 40 tahun dan terakhir dalam usia 60 tahun ( dialami seseorang dalam kurun waktu 20 tahun )
3. Masa tua atau “old age” yang dimulai sejak berakhirnya masa setengah baya sampai seseorang meninggal dunia

Keluarga Sejahtera

PENGERTIAN KELUARGA SEJAHTERA
Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat terdiri atas suami-istri atau suami-istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya.Keluarga sejahtera adalah dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah mampu memenuhikebutuhan hidup spiritual dan materiil yang layak, bertakwa kepada tuhan yang maha esa,memiliki hubungan yang sama, selaras, seimbang antara anggota keluarga dengan masyarakat dan lingkungan.

Tahapan keluarga :
1. Keluarga Pra Sejahtera
Keluarga-keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasar secara minimalsperti pengajaran, agama, sandang, pangan, papan, kesehatan.
2. Keluarga Sejahtera Tahap 1
Keluarga dapat memenuhi kebutuhan dasar secara minimal ( sesuai kebutuhandasar pada keluarga pra sejahtera) tetapi belum dapat memenuhi keseluruhankebutuhan social psikologis keluarga seperti pendidkan, KB, interaksi dalamkeluarga, interaksi dengan lingkungan
3. Keluarga Sejahtera Tahap 2
Keluarga-keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan dasar, kebutuhan psikologistetapi belum dapat memenuhi kebutuhan perkembangan (menabung danmemperoleh informasi).
4. Keluarga Sejahtera Tahap 3
Keluarga-keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan pada tahapan keluarga 1 dan2 namun belum dapat memberikan sumbangan (kontribusi) maksimal terhadapmasyarakat dan berperan secara aktif dalam masyarakat.
5. Keluarga Sejahtera Tahap 3 Plus
Keluarga-keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan semua kebutuhan keluargapada tahap 1 sampai dengan 3.
Pelaksanaan pembangunan dalam keluarga sejahtera
Dalam PP No. 21 Th 1994, pasal 2: pembangunan keluarga sejahtera diwujudkan melalui pengembangan kualitas keluarga diselenggarakan secaramenyeluruh, terpadu oleh masyarakat dan keluarga.Tujuan :Mewujudkan keluarga kecil bahagia, dejahtera bertakwa kepada Tuhan YangMaha Esa, produktif, mandiri dan memiliki kemampuan untuk membangun dirisendiri dan lingkungannya.

Pokok-pokok kegiatan pembangunan keluarga sejahtera :
1. Pembinaan ketahanan fisik keluarga
keluargaKegiatan-kegiatan yang bersifat meningkatkan ketahanan fisik keluarga.Contoh : pembinaan gizi keluarga termasuk gizi ibu hamil, stimulasi pertumbuhanbalita, pembinaan kesehatan lingkungan keluarga, usaha tanaman obat keluarga,dan lain-lain.
2. Pembinaan ketahanan non fisik keluarga
Kegiatan-kegiatan yang bersifat meningkatkan ketahanan non fisik keluarga.Contoh : pembinaan kesehatan mental keluarga, stimulasi perkembangan balita,konseling keluarga, dan lain-lain.

Pembinaan Keluarga Sejahtera Dalam Aspek Agama, Pendidikan, Sosial, Budaya,dan Ekonomi.

a. Aspek agama
Agama memiliki peran penting dalam membina keluarga sejahtera. Agama yangmerupakan jawaban dan penyelesaian terhadap fungsi kehidupan manusia adalah ajaranatau system yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada TuhanYang Maha Esa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia danmanusia serta lingkungannya. Oleh karena itu, sebuah keluarga haruslah memiliki danberpegang pada suatu agama yang diyakininya agar pembinaan keluarga sejahtera dapat terwujud sejalan dengan apa yang diajarkan oleh agama


b. Aspek pendidikan
Pendidikan keluarga sangat penting namun seringkali dianggap tidak penting.Etika yang benar harus diajarkan kepada anak semenjak kecil, sehingga ketika seoranganak menjadi dewasa, ia akan berperilaku baik. Tentu saja perilaku orang tua juga harusbaik dan benar sebagai contoh untuk anaknya. Jikalau semenjak kecil seorang anak diajarkan dengan baik dan benar maka keluarga tersebut akan harmonis. Dan seandainya setiap keluarga mengajarkan nilai-nilai etika yang benar maka semua manusia akan hidupberdampingan dan damai. Keluarga merupakan wahana pertama dan utama dalam pendidikan karakter anak.Apabila keluarga gagal melakukan pendidikan karakter pada anak-anaknya, maka akansulit bagi institusi-institusi lain di luar keluarga (sekolah) untuk memperbaikinya.Kegagalan keluarga dalam membentuk karakter anak akan berakibat pada tumbuhnyamasyarakat yang tidak berkarakter. Oleh karena itu, setiap keluarga harus memilkikesadaran bahwa karakter bangsa sangat tergantung pada pendidikan karakter anak dirumah.Keberhasilan keluarga dalam menanamkan nilai-nilai kebajikan (karakter) pada anak sangat tergantung pada jenis pola asuh yang diterapkan orang tua pada anaknya. Polaasuh dapat didefinisikan sebagai pola interaksi antara anak dan orang tua yang meliputipemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum, dll) dan kebutuhan psikologis(seperti rasa aman, kasih sayang, dll), serta sosialisasi norma-norma yang berlaku dimasyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungannya. Dengan kata lain, polaasuh juga meliputi pola interaksi orang tua dengan anak dalam rangka pendidikankarakter anak
c. Aspek ekonomi
pemerintah mengelompokkan keluarga diIndonesia ke dalam dua tipe :
keluarga pra-sejahtera
Yang kita bayangkan ketika mendengar keluarga tipe ini adalah keluarga yang masih mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya berupa sandang, pangan, danpapan. Keluarga pra-sejahtera identik dengan keluarga yang anaknya banyak, tidak dapatmenempuh pendidikan secara layak, tidak memiliki penghasilan tetap, belummemperhatikan masalah kesehatan lingkungan, rentan terhadap penyakit, mempunyaimasalah tempat tinggal dan masih perlu mendapat bantuan sandang dan pangan.
tipe keluarga sejahtera
Yang terbayang ketika mendengar keluarga tipe ini adalahsebuah keluarga yang sudah tidak mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Keluarga sejahtera identik dengan keluarga yang anaknya dua atau tiga,mampu menempuh pendidikan secara layak, memiliki penghasilan tetap, sudah menaruhperhatian terhadap masalah kesehatan lingkungan, rentan terhadap penyakit, mempunyaitempat tinggal dan tidak perlu mendapat bantuan sandang dan pangan.Selama ini konsentrasi pembinaan terhadap keluarga yang dilakukan oleh pemerintahadalah menangani keluarga pra-sejahtera. Hal itu terlihat dari program-program dasar pembinaan keluarga seperti perencanaan kelahiran (KB), Pos Pelayanan Terpadu (POSYANDU), pelayanan kesehatan gratis, pembinaan lansia, pengadaan rumah khususkeluarga pra-sejahtera dan sejenisnya

d. Aspek sosial budaya
Perkembangan anak pada usia antara tiga-enam tahun adalah perkembangan sikapsosialnya. Konsep perkembangan sosial mengacu pada perilaku anak dalam hubungannyadengan lingkungan sosial untuk mandiri dan dapat berinteraksi atau untuk menjadimanusia sosial. Interaksi adalah komunikasi dengan manusia lain, suatu hubungan yangmenimbulkan perasaan sosial yang mengikatkan individu dengan sesama manusia,perasaan hidup bermasyarakat seperti tolong menolong, saling memberi dan menerima,simpati dan empati, rasa setia kawan dan sebagainya. Terdapat tiga elemen utama dalam struktur internal keluarga :
1. Status social
dimana dalam keluarga distrukturkan oleh tiga struktur utama, yaitubapak/suami, ibu/istri dan anak-anak. Sehingga keberadaan status sosial menjadi pentingkarena dapat memberikan identitas kepada individu serta memberikan rasa memiliki,karena ia merupakan bagian dari sistem tersebut
2. Peran social
yang menggambarkan peran dari masing-masing individu atau kelompok menurut status sosialnya
3. Norma social
yaitu standar tingkah laku berupa sebuah peraturan yangmenggambarkan sebaiknya seseorang bertingkah laku dalam kehidupan social

Ciri-ciri keluarga sejahtera adalah sebagai berikut :
 saling terbuka antar anggota keluarga
 terciptanya rasa saling percaya
 terpenuhinya segala kebutuhan
 adanya saling kerja sama antar keluarga
 adanya keseimbangan dalam memberikan pendidikan untuk bekal didunia dan akhirat
 terciptanya keharmonisan dalam keluarga
 terjalinnya komunikasi yang baik antar keluarga.s




Faktor Yang perlu diberikan orang tua kepada anak agar anak mencapai dewasa yang bertanggung jawab moral :
 Aktif melakukan komunikasi dengan anak
 Memberikan teladan
 Melakukan sesuatu atas dorongan diri sendiri
 Mengejar prestasi
 Mengerjakan sesuatu tanpa bantuan orang lain
 Mampu berpikir
 Kreatif dan penuh inisiatif
 Mampu mengatasi masalah yang dihadapi
 Mampu mengendalikan tindakan-tindakan
 Mampu mempengaruhi lingkungan
 Percaya kepada diri sendiri
 Menghargai keadaan dirinya
 Memperoleh kepuasan dari usahanya
Selain itu agar anak dapat bertanggung jawab moral, maka orang tua dapat melakukan :
- Biarkan anak-anak membuat pilihan-pilihan masukan sendiri
- Tunjukkan rasa hormat terhadap upaya anak
- Jangan mengajukan terlalu banyak pertanyaan
- Jangan langsung menjawab pertanyaan anak
- Dorong anak-anak menggunakan sesuatu/bahan dari luar rumah
- Jangan menyirnakan harapan anak.

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH ( MBS )

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sekolah adalah salah satu dari Tripusat pendidikan yang dituntut untuk mampu menjadikan output yang unggul, mengutip pendapat Gorton tentang sekolah ia mengemukakan, bahwa sekolah adalah suatu sistem organisasi, di mana terdapat sejumlah orang yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan sekolah yang dikenal sebagai tujuan instruksional. Desain organisasi sekolah adalah di dalamnya terdapat tim administrasi sekolah yang terdiri dari sekelompok orang yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan oranisasi. MBS terlahir dengan beberapa nama yang berbeda, yaitu tata kelola berbasis sekolah (school-based governance), manajemen mandiri sekolah (school self-manegement), dan bahkan juga dikenal dengan school site management atau manajemen yang bermarkas di sekolah.
Istilah-istilah tersebut memang mempunyai pengertian dengan penekanan yang sedikit berbeda. Namun, nama-nama tersebut memiliki roh yang sama, yakni sekolah diharapkan dapat menjadi lebih otonom dalam pelaksanaan manajemen sekolahnya, khususnya dalam penggunakaan 3M-nya, yakni man, money, dan material. Penyerahan otonomi dalam pengelolaan sekolah ini diberikan tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena itu, maka Direktorat Pembinaan SMP menamakan MBS sebagai Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS).
Tujuan utama adalah untuk mengembangkan rosedur kebijakan sekolah, memecahkan masalah-masalah umum, memanfaatkan semua potensi individu yang tergabung dalam tim tersebut. Sehingga sekolah selain dapat mencetak orang yang cerdas serta emosional tinggi, juga dapat mempersiapkan tenaga-tenaga pembangunan.
Oleh karena itu perlu diketahui pandangan filosofis tentang hakekat sekolah dan masyarakat dalam kehidupan kita. sekolah adalah bagian yang integral dari masyarakat, ia bukan merupakan lembaga yang terpisah dari masyarakat, hak hidup dan kelangsungan hidup sekolah bergantung pada masyarakat, sekolah adlah lembaga sosial yang berfungsi untuk melayani anggota2 masyarakat dalam bidang pendidikan, kemajuan sekolah dan masyarkat saling berkolerasi, keduanya saling membutuhkan, Masyarakat adalah pemilik sekolah, sekolah ada karena masyarakat memerlukannya.
















BAB II
ISI
1. Konsep Dasar Manajemen Berbasis Sekolah ( MBS )
MBS adalah model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara bersama/partisipatif. Untuk memenuhi kebutuhan sekolah atau untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan nasional. Otonomi diartikan kemandirian, artinya otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kebutuhan warga sekolah yang didukung kemampuan tertentu sesuai dengan peraturan perundang
undangan pendidikan nasional yang berlaku.
Pengambilan keputusan bersama merupakan cara pengambilan keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratis dimana warga sekolah langsung terlibat dalam pengambilan keputusan. Sekolah dapat memberdayakan warga sekolah berupa pemberian kewenangan, tanggung jawab, kebersamaan dalam pemecahan masalah serta pemberian kepercayaan dan penghargaan.
Manajemen Berbasis Sekolah memiliki karateristik yang harus dipahami oleh sekolah yang akan menerapkannya yang meliputi komponen pendidikan dan perlakuannya pada setiap tahap pendidikan input, prose dan outputnya.
Pada hasil pendidikan (output ) diharapkan mendapatkan prestasi akademik dan non akademik. Prestasi akademik misalnya NEM, lomba karya ilmiah, olympiade, siswa berprestasi. Sedangkan non akademin berupa kesenian, olah raga, kejujuran, kerajinan, pramuka dan lain-lain.
Pada proses pendidikan biasanya penekanannya pada :
1. Proses Belaja Mengajar yang efektifitasnya tinggi .
Proses belajar mengajar yang menekankan pada bekerja, belajar hidup bersama dan
belajar menjadi diri sendiri.




2. Kepemimpinan sekolah yang tangguh.
Kepala sekolah memiliki kemampuan dan kepemimpinan yang tangguh , kuat dan
mampu meningkatkan mutu sekolah sesuai dengan visi, misi tujuan dan sasaran yang
telah ditetapkan.
3. Lingkungan sekolah yang tertib, aman, dan nyaman.
4. Pengelolaan tenaga pendidikan yang efektif .
Kebutuhan tenaga, analisis, perencanaan, pengembangan, evaluasi, hubungan kerja.
5. Sekolah memiliki budaya mutu.
Sekolah memiliki kualitas informasi untuk perbaikan hasil diikuti penghargaan atau
sanksi, warga merasa aman, warga sekolah merasa memiliki sekolah.
6. Sekolah memiliki kebersamaan yang kompak.
Sekolah memiliki budaya kerjasama antar individu tanpa adanya kelompok-kelompok
tertentu yang dapat menghambat kemajuan sekolah.
7. Sekolah memiliki kewenangan.
Kewenangan sekolah merupakan kesanggupan kerja dan tidak menggantungkan orang
lain . Kepala sekolah mempunyai kreatifitas yang tinggi untuk menuju sekolah yang
lebih baik.
8. Partisipasi warga sekolah dan masyarakat.
Hubungan antara sekolah dan masyarakat merupakan bagian kehidupan sekolah yang
paling tinggi terutama di bidang non akademik dan akademik.
9. Keterbukaan ( transparasi ) manajemen.
Masalah manajemen perlu keterbukaan antara warga sekolah dan masyarakat terutama
komite sekolah.Apalagi manajemen tersebut menyangkut perencanaan anggaran
( RAPBS ) dan penggunaan uang sekolah. Komite sekolah harus tahu terutama
menyangkut anggaran sekolah. Contoh : DOP, BOS, Block Grant, dan anggaran rutin
sekolah .
10. Sekolah memiliki kemauan untuk berubah
Perubahan sekolah diharapkan menuju yang lebih baik. Perubahan tersebut dapat
berupa perubahan fisik sekolah, prestasi akademik dan non akademik.
11. Sekolah melakukan evaluasi dan perbaikan.
Evaluasi bukan sekedar untuk memenuhi daya serapp siswa menerima pelajaran.
Namun, evaluasi dapat dipakai tolak ukur untuk meningkatkan mutu sekolah pada
proses belajar mengajar selanjutnya. Sekolah harus selalu melaksanakan evaluasi
secara terus menerus baik berupa pengayaan dan perbaikan untuk siswa demi
peningkatan mutu di sekolah.
12. Sekolah responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan.
Sekolah harus mampu mengantisipasi setiap kejadian yang adaa di sekolah terutama
menyangkut mutu sekolah. Sekolah tidak pasif melainkan anatisipatif mencari ke
sekolah – sekolah lain atau ke lembaga-lemabaga pendidikan dengan kata lain
menjemput bola demi kemajuan sekolah.
13. Sekolah memiliki komunikasi yang baik.
Sekolah memiliki komunikasi yang baik terutama antara warga sekolah.Kebersamaan
antar warga sekolah dapat mengantar sekolah ke hal-hal yang lebih bermutu. Contoh
Kelompok Kerja Guru di setiap Gugus Sekolah.
14. Sekolah memiliki Akuntabilitas.
Sekolah memiliki tanggung jawab atas keberhasilan pelaksanaan penyelenggaraan program sekolah. Akuntabilitas berbentuk laporan prestasi yang harus dilaporkan kepada pemerintah, orang tua, dan masyarakat. Berdasarkan laporan hasil program, pemerintah dapat menilai apakah program MBS dapat mencapai tujuan atau tidak. Jika mencapai tujuan maka diberi penghargaan atau sebaliknya jika tidak berhasil perlu diberikan sanksi atau teguran atas kinerjanya yang tidak memenuhi syarat.
Sedangkan para orang tua murid dapat memberikan penilaian terhadap program MBS yang dapat meningkatkan prestasi anak-anaknya atau kinerja sekolahnya. Jika berhasil orang tua dapat memberikan dorongan dan semangat kepada sekolah,atau se-
baliknya jika tidak berhasil orang tua dapat meminta pertanggung jawaban dan penjelasan sekolah atas kegagalan yang telah dilakukan pada input pendidikan,

1. Pengertian manajemen sekolah
Istilah manajemen sekolah acapkali disandingkan dengan istilah administrasi sekolah. Berkaitan dengan itu, terdapat tiga pandangan berbeda; pertama, mengartikan administrasi lebih luas dari pada manajemen (manajemen merupakan inti dari administrasi); kedua, melihat manajemen lebih luas dari pada administrasi ( administrasi merupakan inti dari manajemen); dan ketiga yang menganggap bahwa manajemen identik dengan administrasi.
Dalam makalah ini, istilah manajemen diartikan sama dengan istilah administrasi atau pengelolaan, yaitu segala usaha bersama untuk mendayagunakan sumber-sumber, baik personal maupun material, secara efektif dan efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan di sekolah secara optimal.
Berdasarkan fungsi pokoknya, istilah manajemen dan administrasi mempunyai fungsi yang sama, yaitu:
1. merencanakan (planning)
2. mengorganisasikan (organizing)
3. mengarahkan (directing)
4. mengkoordinasikan (coordinating)
5. mengawasi (controlling)
6. mengevaluasi (evaluation).
Menurut Gaffar (1989) mengemukakan bahwa manjemen pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses kerja sama yang sistematik, sitemik, dan komprehensif dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
2. Manajemen berbasis sekolah ( MBS )
Sejak beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan dengan pendekatan “baru” dalam manajemen sekolah yang diacu sebagai manajemen berbasis sekolah (school based management) atau disingkat MBS. Di mancanegara, seperti Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup lama. Pada 1988 American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri.
Umumnya dipandang bahwa para kepala sekolah merasa tak berdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi.
Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini muncul belakangan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali tidak memiliki banyak kelonggaran untuk mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua kebijakan tentang penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan di tingkat pemerintah pusat atau sebagian di instansi vertikal dan sekolah hanya menerima apa adanya. Apa saja muatan kurikulum pendidikan di sekolah adalah urusan pusat, kepala sekolah dan guru harus melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir dari pusat ke daerah menelusuri saluran birokrasi dengan begitu banyak simpul yang masing-masing menginginkan bagian. Tidak heran jika nilai akhir yang diterima di tingkat paling operasional telah menyusut lebih dari separuhnya. Kita khawatir, jangan-jangan selama ini lebih dari separuh dana pendidikan sebenarnya dipakai untuk hal-hal yang sama sekali tidak atau kurang berurusan dengan proses pembelajaran di level yang paling operasional, sekolah.
MBS adalah upaya serius yang rumit, yang memunculkan berbagai isyu kebijakan dan melibatkan banyak lini kewenangan dalam pengambilan keputusan serta tanggung jawab dan akuntabilitas atas konsekuensi keputusan yang diambil. Oleh sebab itu, semua pihak yang terlibat perlu memahami benar pengertian MBS, manfaat, masalah-masalah dalam penerapannya, dan yang terpenting adalah pengaruhnya terhadap prestasi belajar murid.
Manajemen berbasis sekolah dapat bermakna adalah desentralisasi yang sistematis pada otoritas dan tanggung jawab tingkat sekolah untuk membuat keputusan atas masalah signifikan terkait penyelenggaraan sekolah dalam kerangka kerja yang ditetapkan oleh pusat terkait tujuan, kebijakan, kurikulum, standar, dan akuntabilitas. Tampaknya pemerintah dari setiap negara ingin melihat adanya transformasi sekolah. Transformasi diperoleh ketika perubahan yang signifikan, sistematik, dan berlanjut terjadi, mengakibatkan hasil belajar siswa yang meningkat di segala keadaan (setting), dengan demikian memberikan kontribusi pada kesejahteraan ekonomi dan sosial suatu negara. Manajemen berbasis sekolah selalu diusulkan sebagai satu strategi untuk mencapai transformasi sekolah.
Manajemen berbasis sekolah telah dilembagakan di tempat-tempat seperti Inggris, dimana lebih dari 25.000 sekolah telah mempraktikkannya lebih dari satu dekade. Atau seperti Selandia Baru atau Victoria, Australia atau di beberapa sistem sekolah yang besar) di Kanada dan Amerika Serikat, dimana terdapat pengalaman sejenis selama lebih dari satu dekade. Praktik manajemen berbasis sekolah di tempat-tempat ini tampaknya tidak dapat dilacak mundur. Satu indikasi skala dan lingkup minat terhadap manajemen berbasis sekolah diagendakan pada Pertemuan Menteri-menteri Pendidikan dari Negara APEC di Chili pada April 2004. APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) merupakan satu jejaring 21 negara yang mengandung sepertiga dari populasi dunia. Tema dari pertemuan adalah “mutu dalam pendidikan” dan tata kelola merupakan satu dari empat sub tema. Perhatian khusus diarahkan pada desentralisasi. Para menteri sangat menyarankan (endorse) manajemen berbasis sekolah sebagai satu strategi dalam reformasi pendidikan, tatapi juga menyetujui aspek-aspek sentralisasi, seperti kerangka kerja bagi akuntabilitas. Mereka mengakui bahwa pengaturannya akan bervariasi di masing-masing negara, yang merefleksikan keunikan tiap-tiap setting. Manajemen berbasis sekolah memiliki banyak bayangan makna. Ia telah diimplementasikan dengan cara yang berbeda dan untuk tujuan berbeda dan pada laju yang berbeda di tempat yang berbeda. Bahkan konsep yang lebih mendasar dari “sekolah” dan “manajemen” adalah berbeda, seperti berbedanya budaya dan nilai yang melandasi upaya-upaya pembuat kebijakan dan praktisi. Akan tetapi, alasan yang sama di seluruh tempat dimana manajemen berbasis sekolah diimplementasikan adalah bahwa adanya peningkatan otoritas dan tanggung jawab di tingkat sekolah, tetapi masih dalam kerangka kerja yang ditetapkan di pusat untuk memastikan bahwa satu makna sistem terpelihara.
Satu implikasi penting adalah bahwa para pemimpin sekolah harus memiliki kapasitas membuat keputusan terhadap hal-hal signifikan terkait operasi sekolah dan mengakui dan mengambil unsur-unsur yang ditetapkan dalam kerangka kerja pusat yang berlaku di seluruh sekolah

3. Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah
MBS memiliki karakteristik yang harus dipahami oleh sekolah yang menerapkan. Karakteristik MBS didasarkan pada input, proses, dan output.


1) Output yang diharapkan
Output sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan oleh proses pembelajaran dan manajemen di sekolah. Output pendidikan dinyatakan tinggi jika prestasi sekolah tinggi dalam hal:
- Prestasi akademik siswa berupa nilai ulangan umum, Nilai Ujian Akhir Nasional (NUAN), Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB), lomba karya ilmiah remaja, lomba Bahasa Inggris, lomba Fisika, dan Lomba Matematika.
- Prestasi nonakademik siswa aeperti imtaq, kejujuran, kerjasama, rasa kasih saying, keingintahuan, solidaritas, toleransi, kedisiplinan, kerajinan, prestasi olahraga, dan lainnya. Mutu sekolah dipengaruhi oleh tahapan kegiatan yang saling mempengaruhi (proses) yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.
- Prestasi lainnya seperti kinerja sekolah dan guru meningkat, kepuasan, kepemimpinan kepala sekolah handal, jumlah peserta didik masuk ke sekolah meningkat, hubungan sekolah masyarakat meningkat, dan lain sebagainya.

2) Proses
Proses ialah berubahnya sesuatu (input) menjadi sesuatu yang lain (output). Depdiknas (2007 : 17-23), sekolah yang efektif memiliki:

(a) lingkungan sekolah yang aman dan tertib;
(b) kepemimpinan sekolah yang kuat;
(c) PBM yang efektivitasnya tinggi;
(d) pengelolaan tenaga pendidik dan kependidikan yang efektif;
(e) memiliki budaya mutu;
(f) memiliki teamwork yang kompak, cerdas, dan dinamis;
(g) memiliki kewenangan ( kemandirian );
(h) partisipasi stakeholder tinggi;
(i) memiliki keterbukaan manajemen;
(j) memiliki kemauan dan kemampuan untuk berubah (psikologis dan fisik);
(k) melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan;
(l) responsive dan antisipatif terhadap kebutuhan;
(m) komunikasi yang baik;
(n) memiliki akuntabilitas;dan
(o) sekolah memiliki sustainabilitas.

3) Input pendidikan
Input adalah sesuatu yang harus tersedia untuk berlangsungnya proses. Input juga disebut sesuatu yang berpengaruh terhadap proses. Input merupakan prasarat proses. Depdiknas (2007:23-25) Input pendidikan meliputi:
- Memiliki Kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu yang jelas
Kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu dinyatakan oleh kepala sekolah dan disosialisasikan kepada semua warga sekolah
- Sumberdaya tersedia dan siap
Segala sumberdaya yang diperlukan untuk menjalankan proses pendidikan harus tersedia dan dalam keadaan siap.
- Staf yang kompeten dan berdedikasi tinggi
Bagi sekolah yang ingin efektivitasnya tinggi, maka kepemilikan staf yang kompeten dan berdedikasi tinggi merupakan keharusan.
- Memiliki harapan prestasi yang tinggi
Sekolah yang menerapkan MBS mempunyai dorongan dan harapan yang tinggi untuk meningkatkan prestasi peserta didik dan sekolahnya.Kepala sekolah memiliki komitmen dan motivasi yang kuat untuk meningkatkan mutu sekolah secara optimal. Guru memiliki komitmen dan harapan yang tinggi bahwa anak didiknya dapat mencapai tingkat prestasi yang maksimal. Sedangkan peserta didik mempunyai motivasi untuk selalu meningkatkan diri untuk berprestasi sesuai dengan bakat dan kemampuannya.

- Fokus pada pelanggan (khususnya Siswa)
Semua input dan proses yang dikerahkan di sekolah tertuju utamanya untuk selalu meningkatkan mutu dan kepuasan peserta didik sehingga peserta didik selalu termotivasi untuk belajar.
- Input manajemen
Input manajemen yang dimaksud meliputi: tugas yang jelas, rencana yang rinci dan sistematis, program yang mendukung bagi pelaksanaan rencana, ketentuan-ketentuan (aturan-aturan) yang jelas sebagai panutan bagi warga sekolahnya untuk bertindak, dan adanya system pengendalian mutu yang efektif dan efisien untuk meyakinkan agar sasaran yang telah disepakati dapat dicapai.

4. Alasan diterapkannya MBS
Alasan perlunya diterapkan MBS antara lain adalah :
- Sekolah lebih inisiatif dan kreatif dalam meningkatkan mutu sekolah.
- Sekolah lebih luwes dan lincah dalam mengadakan dan memanfaatkan sumberdaya sekolah secara optimal.
- Sekolah lebih mengetahui SWOT (Strength, Weaknesess, pportunities, Threats).
- Sekolah lebih mengetahui kebutuhannya.
- Penngunaan sumberdaya pendidikan lebih efisien dan efektif.
- Keterlibatan semua warga sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan.
- Sekolah dapat cepat merespon aspirasi masyarakat dan lingkungan yang berubah dengan cepat.
- Meningkatkan kepedulian stakeholder.
- Mempercepat transformasi proses belajar mengajar secara optimal.
5. Pembelajaran Manajemen Berbasis Sekolah ( MBS )
Pembelajaran MBS sudah tidak berpusat pada guru lagi tetapi disini anak ditintut untuk lebih aktif, inovatif, dan kreatif serta pembelajaran yang efektif dan menyenangkan.Pembelajaran MBS juga identik dengan pembelajaran PAKEM. PAKEM singkatan dari Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan.Menurut pendapat Muhamad Durori (2002 : xiii-xv) pengertian pakem dapat dilihat dari 2 segi, yaitu dari segi guru dan dari segi siswa.
1. Dari segi guru
a. Aktif berarti memantau kegiatan siswa, memberi umpan balik, mengajukan pertanyaan yang menantang dan mempertanyaan gagasan siswa.
b. Kreatif berarti guru mengembangkan kegiatan yang beragam serta membuat alat bantu belajar sederhana.
c. Efektif berarti pembelajaran dapat mencapai tujuan yang diinginkan.
d. Menyenangkan artinya pembelajaran artinya tidak membuat siswa takut dalam kegiatan pembelajaran.
2. Dari segi siswa
1. Aktif artinya siswa aktif bertanya dan mengemukakan pendapat.
2. Kreatif artinya siswa merancang/membuat sesuatu dan mampu menulis/mengarang.
3. Efektif artinya siswa menguasai keterampilan yang diperlukan.
4. Menyenangkan artinya membuat siswa berani dan tidak takut ketika sedang berlangsung pembelajaran
Untuk dapat memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang pembelajaran MBS , secara garis besar dapat disebutkan sebagai berikut:
1. Siswa terlibat dalam berbagai kegiatan untuk mengembangkan pemahaman dan kemampuan dengan penekanan pada belajar melalui berbuat.
2. Guru menggunakan berbagai alat bantu dan cara membangkitkan semangat serta menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar untuk menciptakan pembelajaran menjadi menarik dan menyenagkan.
3. Guru mengatur kelas dengan memajang buku-buku dan bahan belajar yang menarik.
4. Siswa menempelkan hasil pekerjaan tangannya di papan pajangan.
5. Guru menerapkan cara belajar yang lebih kooperatif, interaktif, dan demokratif termasuk cara belajar kelompok.
6. Mendorong siswa untuk menemukan caranya sendiri dalam pemecahan masalah, mengungkapkan gagasan, dan melibatkan siswa dalam menciptakan lingkungan sekolahnya.

3. Paradigma Manajemen Berbasis Sekolah
Dengan diberlakukannya otonomi daerah, maka sebagai konsekwensi logis bagi manajemen pendidikan di Indonesia adalah perlu dilakukannya penyesuaian terhadap manajemen paradigma lama menuju manajemen paradigma baru yang lebih bernuansa otonomi dan yang lebih demokratis Pergeseran paradigma pendidikan dasar dan menengah telah tercermin dalam visi pembangunan pendidikan nasional yang tercantum dalam GBHN 1999 ” mewujudkan sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan berkualitas guna mewujudkan bangsa yang berakhlak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas sehat, disiplian, bertanggung jawab, trampil, serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.”Amanat GBHN ini menyiratkan suatu kekhawatiran yang mendalam dari berbagai komponen bangsa terhadap prestasi sistem pendidikan nasional yang kini tampak mulai menurun dalam mempersiapkan SDM yang tangguh dan mampu bersaing di era tanpa batas ke depan.
MBS bermaksud mengembalikan sekolah kepada pemiliknya dalam arti yang mengetahui perkembangan sekolah baik di bidang mutu maupun lainya tergantung pada sekolah dan masyarakat partisipannya. Kepala sekolah merupakan orang yang paling tahu tentang prestasi guru-gurunya, kekurangan buku, sarana-prasarana yang menyangkut proses pembelajaran. Untuk itu kepala sekolah dan guru-guru harus dikembangkan kemampuannya dalam melakukan kajian serta analisis agar semakin peka terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekolahnya.
Salah satu cara menuju peningkatan mutu dan relevansi adalah demoktratisasi, partisipasi, dan akuntabilitas pendidikan. Kepala sekolah guru, dan masyarakat adalah peran utama dan terdepan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah sehingga segala keputuisan mengenai penanganan persoalan pendidikan pada tingkatan mikro harus dihasilkan dari interaksi dari ketiga pihak. Masyarakat adalah stakeholder pendidikan yang memiliki kepentingan akan keberhasilan pendidikan di sekolah., karena mereka adalah pembayar pendidikan baik melalui uang sekolah maupun pajak sehingga sudah sewajarnya sekolah bertangggung jawab kepada masyararakat.Bentuk stakeholder masyarakat tersebut adalah Dewan Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan di tingkat kota/kabupaten Kemandirian sekolah sangat diharapkan oleh pemerintah terutama pada kebijakan desentralisasi pendidikan.Namun untuk sampai pada kemampuan untuk mengurus dan mengatur penyelenggaraan pendidikan di setiap satuan pendidikan diperlukan program yang sistematis dengan melakukan ” capasity building ”Untuk melakukan kegiatan ” capasity building ” perlu tahapan-tahapan agar arahnya terarah dan terukur . Ada empat tahapan yang perlu dilalui untuk kegiatan tersebut . Masing-masing tahap pengembangan dilakukan terhadap setiap kelompok satuan pendidikan yang mempunyai karateristik yang setara. Capasity building dilakukan untuk meningkatkan ( up grade ) suatu kelompok satuan pendidikan pada tahap perkembangan tertentu ke tahap berikutnya.
Keempat tahap tersebut adalah:
1. Tahap Pra format, ialah tahap dimana satuan pendidkan belum memiliki standar formal pendidikan masih belum terpenuhi sebagai sumber-sumber pendidikan dan perlu ditingkatkan ke tahap berikutnya.
2. Tahap Formalitas, ialah sekolah yang sudah memiliki sumber-sumber pendidikan secara minimal. Satuan pendidikan tersebut sudah memiliki standar teknis minimal seperti kualifikasi guru, juimlah dan kualitas ruang kelas, kualitas buku serta j7umlah kualitas pendidikan lainnya. Dengan capasity building sekolah dapat meningkatkan kemampuan administratur dan pelaksanaan pendidikandan dapat meningkatkan pembelajarannya lebih kreatif dan inovatif. Jika satuan pendidikan tersebut sudah berhasil ditingkatkan lagi ke tingkat transsional. Keberhasilan tersebut dapat diukur dengan standar pelayanan minimum tingkat sekolah, terutama menyangkut output pendidikan seperti penurunan tingkat putus sekolah, mengulang kelas , kemampuan para siswa, tingkat kelulusan, serta tingkat melanjutkan sekolah.
3. Tahap Transisional, ialah satuan pendidikan sudah mampu memberikan pelayanan minimal pendidikan yang bermutu, seperti kemampuan mendayagunakan sumber-sumber pendidikan secara optimal. Meningkatkan kreativitan guru , pendayagunaan perpustakaan, sekolah secara optimal.
4. Tahap otonomi, pada tahap ini dapat dikatakan sekolah sudah mencapai tahap penyelesaian capasity building menuju profesionalisme pendidikan ke pelayanan pendidikan yang bermutu.Satuan pendidikan sudah dianggap dapat memberikan pelayanan di atas Standar Pelayanan Minimal dan bertanggung jawab terhadap klien serta stakeholder pendidikan lainnya.
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa perubahan paradigma itu antara lain:
 Melaksanakan program menjadi merumuskan/melaksanakan program.
 Keputusan terpusat menjadi keputusan bersama/partisipatif.
 Ruang gerak terbatas menjadi ruang gerak fleksibel
 Sentralistik menjadi desentralistik
 Individual menjadi kerjasama
 Basis birokratik menjadi basis professional
 Diatur menjadi mandiri
 Malregulasi menjadi deregulasi
 Informasi terbatas menjadi informasi terbuka
 Boros menjadi efisien
 Pendelegasian menjadi pemberdayaan
 Organisasi vertical menjadi organisasi horizontal

Pada paradigma lama, tugas dan fungsi sekolah hanya melaksanakan program dari pada mengambil inisiatif merumuskan dan melaksanakan program yang dibuat sendiri oleh sekolah.

4. Manfaat Manajemen Berbasis Sekolah
MBS dipandang sebagai alternatif dari pola umum pengoperasian sekolah yang selama ini memusatkan wewenang di kantor pusat dan daerah. MBS adalah strategi untuk meningkatkan pendidikan dengan mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan penting dari pusat dan dearah ke tingkat sekolah. Dengan demikian, MBS pada dasarnya merupakan sistem manajemen di mana sekolah merupakan unit pengambilan keputusan penting tentang penyelenggaraan pendidikan secara mandiri. MBS memberikan kesempatan pengendalian lebih besar bagi kepala sekolah, guru, murid, dan orang tua atas proses pendidikan di sekolah mereka.
Dalam pendekatan ini, tanggung jawab pengambilan keputusan tertentu mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum ditempatkan di tingkat sekolah dan bukan di tingkat daerah, apalagi pusat. Melalui keterlibatan guru, orang tua, dan anggota masyarakat lainnya dalam keputusan-keputusan penting itu, MBS dipandang dapat menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi para murid. Dengan demikian, pada dasarnya MBS adalah upaya memandirikan sekolah dengan memberdayakannya
Para pendukung MBS berpendapat bahwa prestasi belajar murid lebih mungkin meningkat jika manajemen pendidikan dipusatkan di sekolah ketimbang pada tingkat daerah. Para kepala sekolah cenderung lebih peka dan sangat mengetahui kebutuhan murid dan sekolahnya ketimbang para birokrat di tingkat pusat atau daerah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa reformasi pendidikan yang bagus sekalipun tidak akan berhasil jika para guru yang harus menerapkannya tidak berperanserta merencanakannya. Para pendukung MBS menyatakan bahwa pendekatan ini memiliki lebih banyak maslahatnya ketimbang pengambilan keputusan yang terpusat. Maslahat itu antara lain menciptakan sumber kepemimpinan baru, lebih demokratis dan terbuka, serta menciptakan keseimbangan yang pas antara anggaran yang tersedia dan prioritas program pembelajaran. Pengambilan keputusan yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan meningkatkan motivasi dan komunikasi (dua variabel penting bagi kinerja guru) dan pada gilirannya meningkatkan prestasi belajar murid. MBS bahkan dipandang sebagai salah satu cara untuk menarik dan mempertahankan guru dan staf yang berkualitas tinggi.
Penerapan MBS yang efektif secara spesifik mengidentifikasi beberapa manfaat spesifik dari penerapan MBS sebagai berikut :
1. Memungkinkan orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan meningkatkan pembelajaran
2. Memberi peluang bagi seluruh anggota sekolah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan penting.
3. Mendorong munculnya kreativitas dalam merancang bangun programpembelajaran
4. Mengarahkan kembali sumber daya yang tersedia untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di setiap sekolah.
5. Menghasilkan rencana anggaran yang lebih realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari keadaan keuangan sekolah, batasan pengeluaran, dan biaya program-program sekolah.
6. Meningkatkan motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di semua level.
4. Pengaruh penerapan MBS terhadap kewenangan pemerintah pusat
Penerapan MBS dalam sistem yang pemerintahan yang masih cenderung terpusat tentulah akan banyak pengaruhnya. Perlu diingatkan bahwa penerapan MBS akan sangat sulit jika para pejabat pusat dan daerah masih bertahan untuk menggenggam sendiri kewenangan yang seharusnya didelegasikan ke sekolah. Bagi para pejabat yang haus kekuasaan seperti itu, MBS adalah ancaman besar.
MBS menyebabkan pejabat pusat dan kepala dinas serta seluruh jajarannya lebih banyak berperan sebagai fasilitator pengambilan keputusan di tingkat sekolah. Pemerintah pusat, dalam rangka pemeliharaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tentu saja masih menjalankan politik pendidikan secara nasional. Pemerintah pusat menetapkan standar nasional pendidikan yang antara lain mencakup standar kompetensi, standar fasilitas dan peralatan sekolah, standar kepegawaian, standar kualifikasi guru, dan sebagainya. Penerapan standar disesuaikan dengan keadaan daerah. Standar ini kemudian dioperasionalkan oleh pemerintah daerah (dinas pendidikan) dengan melibatkan sekolah-sekolah di daerahnya. Namun, pemerintah pusat dan daerah harus lebih rela untuk memberi kesempatan bagi setiap sekolah yang telah siap untuk menerapkannya secara kreatif dan inovatif. Jika tidak, sekolah akan tetap tidak berdaya dan guru akan terpasung kreativitasnya untuk berinovasi. Pemerintah harus mampu memberikan bantuan jika sekolah tertentu mengalami kesulitan menerjemahkan visi pendidikan yang ditetapkan daerah menjadi program-program pendidikan yang berkualitas tinggi. Pemerintah daerah juga masih bertanggung jawab untuk menilai sekolah berdasarkan standar yang telah ditetapkan.
Kita belum memiliki pengalaman dengan dewan sekolah, ada rencana untuk mengadakan dewan pendididikan pada tingkat nasional, dewan pendidikan pada tingkat daerah, dan dewan sekolah di setiap sekolah. Di Amerika Serikat, dewan sekolah (di tingkat distrik) berfungsi untuk menyusun visi yang jelas dan menetapkan kebijakan umum pendidikan bagi distrik yang bersangkutan dan semua sekolah di dalamnya. MBS di Amerika Serikat tidak mengubah pengaturan sistem sekolah, dan dewan sekolah masih memiliki kewenangan dengan berbagi kewenangan itu. Namun, peran dewan sekolah tidak banyak berubah.
Dalam rangka penerapan MBS di Indonesia, kantor dinas pendidikan kemungkinan besar akan terus berwenang merekrut pegawai potensial, menyeleksi pelamar pekerjaan, dan memelihara informasi tentang pelamar yang cakap bagi keperluan pengadaan pegawai di sekolah. Kantor dinas pendidikan juga sedikit banyaknya masih menetapkan tujuan dan sasaran kurikulum serta hasil yang diharapkan berdasarkan standar nasional yang ditetapkan pemerintah pusat, sedangkan sekolah menentukan sendiri cara mencapai tujuan itu. Sebagian daerah boleh jadi akan memberi kewenangan bagi sekolah untuk memilih sendiri bahan pelajaran (buku misalnya), sementara sebagian yang lain mungkin akan masih menetapkan sendiri buku pelajaran yang akan dipakai dan yang akan digunakan seragam di semua sekolah.
Di Amerika Serikat, kebanyakan sekolah memiliki apa yang disebut dewan manajemen sekolah (school management council). Dewan ini beranggotakan kepala sekolah, wakil orang tua, wakil guru, dan di beberapa tempat juga anggota masyarakat lainnya, staf administrasi, dan wakil murid. Dewan ini melakukan analisis kebutuhan dan menyusun rencana tindakan yang memuat tujuan dan sasaran terukur yang sejalan dengan kebijakan dewan sekolah di tingkat distrik.
Di beberapa distrik, dewan manajemen sekolah mengambil semua keputusan pada tingkat sekolah. Di sebagian distrik yang lain, dewan ini memberi pendapat kepada kepala sekolah, yang kemudian memutuskannya. Kepala sekolah memainkan peran yang besar dalam proses pengambilan keputusan, apakah sebagai bagian dari sebuah tim atau sebagai pengambil keputusan akhir.
Dalam hampir semua model MBS, setiap sekolah memperoleh anggaran pendidikan dalam jumlah tertentu yang dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan. Pemerintah daerah menentukan jumlah yang masuk akal anggaran total yang diperlukan untuk pelaksanaan supervisi pendidikan di daerahnya, seperti biaya administrasi dan transportasi dinas, dan mengalokasikan selebihnya ke setiap sekolah. Alokasi ke setiap sekolah ini ditentukan berdasarkan formula yang memperhitungkan jumlah dan jenis murid di setiap sekolah.
Setiap sekolah menentukan sendiri pengeluaran anggaran yang dialokasikan kepada mereka untuk pembayaran gaji pegawai, peralatan, pasok, dan pemeliharaan. Kemungkinan variasi penggunaan anggaran dalam setiap daerah dapat terjadi dan tidak perlu disesalkan, karena seragam belum tentu bagus. Misalnya, di sebagian daerah, sisa anggaran dapat ditambahkan ke anggaran tahun berikutnya atau dialihkan ke program yang memerlukan dana lebih besar. Dengan cara ini, didorong adanya perencanaan jangka panjang dan efisiensi.

5. Syarat Penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS)
Sejak awal, pemerintah (pusat dan daerah) haruslah suportif atas gagasan MBS. Mereka harus mempercayai kepala sekolah dan dewan sekolah untuk menentukan cara mencapai sasaran pendidikan di masing-masing sekolah. Penting artinya memiliki kesepakatan tertulis yang memuat secara rinci peran dan tanggung jawab dewan pendidikan daerah, dinas pendidikan daerah, kepala sekolah, dan dewan sekolah. Kesepakatan itu harus dengan jelas menyatakan standar yang akan dipakai sebagai dasar penilaian akuntabilitas sekolah. Setiap sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan yang mencakup “seberapa baik kinerja sekolah dalam upayanya mencapai tujuan dan sasaran, bagaimana sekolah menggunakan sumber dayanya, dan apa rencana selanjutnya.”
Perlu diadakan pelatihan dalam bidang-bidang seperti dinamika kelompok, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, penanganan konflik, teknik presentasi, manajemen stress, serta komunikasi antarpribadi dalam kelompok. Pelatihan ini ditujukan bagi semua pihak yang terlibat di sekolah dan anggota masyarakat, khususnya pada tahap awal penerapan MBS. Untuk memenuhi tantangan pekerjaan, kepala sekolah kemungkinan besar memerlukan tambahan pelatihan kepemimpinan.
Dengan kata lain, penerapan MBS mensyaratkan yang berikut :
1. MBS harus mendapat dukungan staf sekolah.
2. MBS lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap.
Kemungkinan diperlukan lima tahun atau lebih untuk menerapkan MBS secara berhasil.
3. Staf sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya, pada saat yang sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran dan saluran komunikasi yang baru.
4. Harus disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf untuk bertemu secara teratur.
5. Pemerintah pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada kepala sekolah, dan kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para guru dan orang tua murid.
6. Hambatan Dalam Penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS)
Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan MBS adalah sebagai berikut :

1. Tidak Berminat Untuk Terlibat
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.

2. Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.

3. Pikiran Kelompok
Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.

4. Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
5. Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.
6. Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.
Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah dilibatkan sejak awal, mereka dapat memastikan bahwa setiap hambatan telah ditangani sebelum penerapan MBS. Dua unsur penting adalah pelatihan yang cukup tentang MBS dan klarifikasi peran dan tanggung jawab serta hasil yang diharapkan kepada semua pihak yang berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat harus memahami apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yang dapat dibagi, oleh siapa, dan pada level mana dalam organisasi.
Anggota masyarakat sekolah harus menyadari bahwa adakalanya harapan yang dibebankan kepada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya di tempat lain menunjukkan bahwa daerah yang paling berhasil menerapkan MBS telah memfokuskan harapan mereka pada dua maslahat: meningkatkan keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan menghasilkan keputusan lebih baik.
7. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang berhubungan Prestasi Belajar Murid
MBS merupakan salah satu gagasan yang diterapkan untuk meningkatkan pendidikan umum. Tujuan akhirnya adalah meningkatkan lingkungan yang kondusif bagi pembelajaran murid. Dengan demikian, ia bukan sekadar cara demokratis melibatkan lebih banyak pihak dalam pengambilan keputusan. Keterlibatan itu tidak berarti banyak jika keputusan yang diambil tidak membuahkan hasil lebih baik. Kita belum memiliki pengalaman untuk mengaitkan penerapan MBS dengan prestasi belajar murid. Di Amerika Serikat (David Peterson, ERIC_Digests, 2002) upaya mengaitkan MBS dengan prestasi belajar murid masih problematis. Belum banyak penelitian kuantitatif yang telah dilakukan dalam topik ini. Selain itu, masih diragukan apakah benar penerapan MBS berkaitan dengan prestasi murid. Boleh jadi masih banyak faktor lain yang mungkin mempengaruhi prestasi itu setelah diterapkannya MBS. Masalah penelitian ini makin diperparah dengan tiadanya definisi standar mengenai MBS. Studi yang dilakukan tidak selamanya mengindikasikan sejauhmana sekolah telah mendistribusikan kembali wewenangnya.
Salah satu studi yang dilakukan yang menelaah ratusan dokumen justru menunjukkan bahwa dalam banyak contoh, MBS tidak mencapai tujuan yang ditetapkan. Studi itu menunjukkan bahwa peningkatan prestasi murid tampaknya hanya terjadi di sejumlah sekolah yang dijadikan pilot studi dan dalam jangka waktu tidak lama pula.
Hasil MBS di daerah perkotaan masih belum jelas benar. Di sekolah di daerah pingiran kota Maryland menunjukkan adanya peningkatan prestasi murid dalam skor tes terutama di kalangan orang Amerika keturunan Afrika, setelah menerapkan lima langkah rencana reformasi, termasuk MBS. Namun, di tempat lain, seperti Dade County, Florida, setelah menerapkan MBS selama tiga tahun, prestasi murid di sekolah-sekolah dalam kota justru menurun.
Meskipun peningkatan skor tes mungkin dapat dipakai sebagai indikasi langsung kemampuan MBS meningkatkan prestasi belajar murid, cukup banyak pula bukti tidak langsung. Misalnya, sudi kasus yang dilakukan terhadap dua distrik sekolah di Kanada menunjukkan bahwa pengambilan keputusan yang didesentralisasikan menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih efektif. Salah seorang guru memutuskan untuk mengurangi penggunaan mesin fotokopi agar dapat mempekerjakan staf tambahan. Tinjauan tahunan sekolah menunjukkan bahwa kepuasan murid sekolah menengah pertama dan lanjutan meningkat terhadap banyak hal setelah diadakannya pembaruan. Para murid menunjukkan adanya peningkatan dalam bidang-bidang penting seperti kegunaan dan efektivitas mata pelajaran dan penekanan sekolah atas sejumlah kecakapan dasar.
Pengambilan keputusan bersama telah meningkatkan kejelasan guru tentang tujuan pengajaran serta metode yang pada gilirannya meningkatkan efektivitas pengajaran. MBS dipandang meningkatkan kepuasan kerja guru, khususnya ketika para guru memainkan peranan yang lebih menentukan ketimbang sekadar memberikan saran. Di Dade County, Florida, studi yang dilakukan menunjukkan bahwa tiga tahun penerapan MBS memberi kontribusi pada terciptanya lingkungan yang lebih nyaman dan lebih sedikit murid yang bermasalah.
Namun, survei yang dilakukan di Chicago menunjukkan bahwa MBS tidak selamanya popular di kalangan guru. Tiga perempat dari seratus orang guru yang disurvei menyatakan bahwa reformasi desentralisasi sekolah di Chicago telah gagal meningkatkan prestasi belajar murid, dan bahkan lebih banyak lagi responden yang menyangkal bahwa perubahan itu telah meningkatkan motivasi guru.
Studi-studi terkini (Caldwell & Hayward, 1998; Caldwell & Spinks, 1998; Fullan & Watson, 2000; Ouchi & Segal, 2003; Volansky & Friedman, 2003) telah menggarisbawahi pentingnya pembuatan keputusan setempat yang sejak awal tertuju pada belajar dan mengajar dan dukungan terhadap belajar dan mengajar, terutama dalam membangun kapasitas staf untuk mendesain dan menyampaikan kurikulum dan pembelajaran yang memenuhi kebutuhan siswa, dengan memperhatikan prioritas kebutuhan setempat, termasuk kemampuan mengidentifikasi kebutuhan dan memonitori keluaran. Juga terlihat pentingnya membangun kapasitas masyarakat untuk mendukung upaya sekolah. Dengan kata lain, penerapakn manajemen berbasis sekolah mungkin tidak berdampak pada belajar kecuali aturan-aturan ini, yang secara umum disebut peningkatan kapasitas dan pemanfaatan kapasitas, telah berhasil.
Di tingkat makro, studi internasional tentang prestasi siswa seperti TIMSS dan TIMSS-R dan PISA dan PISA telah mengkonfirmasi pentingnya keseimbangan antara sentralisasi dan desentralisasi, dengan manajemen berbasis sekolah relatif lebih tinggi sebagai satu unsur desentralisasi, termasuk pembuatan keputusan lokal menyangkut masalah personel, profesionalisme, monitoring keluaran, dan membangun dukungan masyarakat.
Hal-hal di atas mencerminkan pentingnya modal intelektual dan modal sosial dalam membangun satu sistem sekolah yang mengelola diri sendiri. (self-managing school). Membangun modal intelektual merupakan contoh pengembangan kapasitas, yang dibahas lebih rinci pada proposisi 11. Modal sosial merujuk pada membangun hubungan yang saling mendukung di antara sekolah, rumah, masyarakat, lembaga keagamaan, dunia usaha dan industri, dan lembaga lain di sektor publik dan swasta.
Pengalaman menunjukkan bahwa, batapapun kuatnya kehendak strategis, diperluan waktu betahun-tahun agar pergeseran dalam keseimbangan antara sentralisasi dan desentralisasi memungkinkan desentralisasi berdampak pada keluaran. Ini merupakan pengesahan satu legislasi untuk pergeseran kewenangan, otoritas, tanggung jawab, dan pengaruh dari satu tingkat ke tingkat lain pergeseran itu merupakan perubahan dalam struktur. Pergeseran lain adalah membangun kapasitas agar diperoleh dampak yang diharapkan dari belajar dan mengubah kultur di semua tingkat.
Satu implikasi penting adalah, pemimpin sekolah harus memastikan bahwa dia dan koleganya memperbarui pengetahuan tentang praktik yang baik dalam peningkatan sekolah, dan bahwa membangun modal sosial dan intelektual merupakan inti pekerjaan pemimpin senior di sekolah
Dalam praktik penerapannya di Amerika Serikat ada indikasi bahwa banyak kelemahan MBS dikarenakan penerapannya yang tidak komprehensif; artinya MBS diterapkan sepotong-sepotong. Para anggota dewan sekolah biasanya dikendalikan oleh kepala sekolah, sedangkan pihak-pihak lain tidak banyak berperan. Pola lama di mana administrator pendidikan menetapkan kebijakan, guru mengajar, dan orang tua mendukung tampaknya masih dipertahankan. Pola yang tertanam kuat ini sukar ditanggulangi. Apabila para anggota dewan tidak disiapkan dengan baik, mereka seringkali sangat bingung dan cemas untuk mengemban tanggung jawabnya yang baru.
Ada juga Tim MBS hanya berkonsentrasi pada hal-hal di luar kegiatan pembelajaran. Pengamatan penerapan MBS menunjukkan bahwa dewan sekolah cenderung memusatkan perhatian pada kegiatan-kegiatan-kegiatan seperti penghargaan dan pendisiplinan murid ketimbang pada pengajaran dan kurikulum. Selain itu, ada pula indikasi bahwa MBS membuat kepala sekolah menjadi lebih berminat dengan hal-hal teknis administratif dengan mengorbankan aspek pembelajaran. Dengan kata lain, peran kepemimpinan pendidikannya diabaikan.
Namun, kekurangpedulian terhadap proses pembelajaran di dalam kelas bukanlah penyakit bawaan MBS. Tim MBS tidak dapat dipersalahkan karena tidak berhasil mendongkrak skor tes murid jika mereka tidak mendapat kewenangan untuk melakukan hal itu. Misalnya, pengamatan di Chicago menunjukkan bahwa wewenang pendidikan sebagian besar telah didelegasikan kepada orang tua dan anggota masyarakat lainnya. Selain itu, tidaklah fair untuk mengharapkan adanya dampak atas suatu reformasi pendidikan di daerah pinggiran kota besar yang telah porak-poranda oleh seringnya terjadi kasus-kasus kebrutalan, kejahatan, dan kemiskinan.

8. Bagaimana Agar MBS Meningkatkan Prestasi Belajar
MBS tidak boleh dinyatakan gagal sebelum memperoleh kesempatan yang adil untuk diterapkan. Banyak program yang tidak berkonsentrasi pada prestasi pendidikan, dan banyak pula yang merupakan variasi dari model hierarkis tradisional ketimbang penataan ulang wewenang pengambilan keputusan secara aktual. Pengalaman penerapan di negara lain menunjukkan bahwa daerah yang benar-benar mendelegasikan wewenang secara substansial kepada sekolah cenderung memiliki pimpinan yang mendukung eksperimentasi dan yang memberdayakan pihak lain. Ada indikasi bahwa pembaruan yang berhasil juga mengharuskan adanya jaringan komunikasi, komitmen finansial terhadap pertumbuhan profesional, dukungan dari semua komponan komunitas sekolah. Selain itu, pihak yang terlibat harus benar-benar mau dan siap memikul peran dan tanggung jawab baru. Para guru harus disiapkan memikul tanggung jawab dan menerima kewenangan untuk berinisiatif meningkatkan pembelajaran dan bertanggung jawab atas kinerja mereka.
Penerapan MBS yang efektif seyogyanya dapat mendorong kinerja kepala sekolah dan guru yang pada gilirannya akan meningkatkan prestasi murid. Oleh sebab itu, harus ada keyakinan bahwa MBS memang benar-benar akan berkontribusi bagi peningkatan prestasi murid. Ukuran prestasi harus ditetapkan multidimensional, jadi bukan hanya pada dimensi prestasi akademik. Dengan taruhan seperti itu, daerah-daerah yang hanya menerapkan MBS sebagai mode akan memiliki peluang yang kecil untuk berhasil.
Pertanyaannya, sudahkan daerah siap melaksanakan MBS? Penulis khawatir tidak banyak daerah di Indonesia yang benar-benar siap menerapkan MBS. Masih terlalu banyak hambatan yang harus ditanggulangi sebelum benar-benar menetapkan MBS sebagai model untuk melakukan perubahan.
Manajemen berbasis sekolah telah menimbulkan perdebatan karena berbagai kekuatan pendorong telah membentuk kebijakan, dan kekuatan-kekuatan ini telah tercermin atau diduga mencerminkan preferensi politik atau orientasi ideologi. Manajemen berbasis sekolah yang digerakkan oleh kepedulian terhadap pemberdayaan masyarakat dan peningkatan profesi sering diasosiasikan dengan pemerintahan Pusat. Manajemen berbasis sekolah telah digerakkan oleh kepentingan untuk memberikan kebebasan yang lebih besar atau lebih banyak diferensiasi sering diasosiasikan dengan pemerintahan Daerah, Manajemen berbasis sekolah yang telah digerakkan, dimana manajemen berbasis sekolah sering dipandang sebagai manifestasi dari upaya menciptakan satu pasar di antara sekolah dalam sistem pendidikan umum.
Manajemen berbasis sekolah sering menimbulkan perdebatan pada tahap-tahap awal pengadopsian, tetapi ia terus diterima setelah beberapa waktu, sedemikian rupa sehingga hanya sedikit pemangku kepentingan ingin kembali pada pendekatan yang lebih sentralistik dalam mengelola sekolah.
Akan tetapi ada pengecualian penting, terutama mengenai kasus di Hong Kong – Cina. School Management Initiative (SMI) merupakan inisitatif manajemen berbasis sekolah mulai awal 1990-an. Tetapi pelaksanaannya lambat, terutama pada sektor yang dibantu, dimana banyak orang berpendapat bahwa SMI menghambat ketimbang memberdayakan. Leung (2003) menyimpulkan bahwa “tujuan reformasi desentralisasi oleh pemerintah adalah memperkuat kendali dan memastikan mutu pendidikan melalui teknik-teknik manajemen. Yaitu bahwa ‘mutu’ diartikan dalam hal penggunaan sumber daya yang lebih efisien, asesmen keluaran (outcome), indikator kinerja, dan evaluasi eksternal. Bukan pembagian kewenangan ataupun pemberdayaan stakeholder menjadi tujuan”. Reformasi tetap menjadi perdebatan di Hong Kong.
Dalam analisis terakhir, meskipun ada kekuatan pendorong yang lain, kriteria kritis untuk menilai efektivitas reformasi yang mencakup manajemen berbasis sekolah adalah sejauh mana manajemen berbasis sekolah mengarah pada atau berhubungan dengan pencapaian hasil belajar yang membaik, termasuk prestasi siswa ke tingkat yang lebih tinggi, bagaimana pun mengukurnya.
Belakangan banyak terjadi perubahan dalam pandangan bahwa tujuan utama manajemen berbasis sekolah adalah peningkatan hasil pembelajaran, dan untuk alasan inilah, kebanyakan pemerintahan memasukkan manajemen berbasis sekolah dalam kebijakan bagi reformasi pendidikan.
Satu implikasi penting adalah bahwa pemimpin sekolah harus memastikan bahwa perhatian masyarakat sekolah (termasuk tenaga kependidikan) tidak hentinya difokuskan pada hasil belajar siswa, dan ini harus menjadi kepedulian utama meskipun makna manajemen berbasis sekolah sangat sering menimbulkan perdebatan.
Para pengeritik sering mengutip temuan ini. Akan tetapi banyak dari penelitian terdahulu hanya mengambil informasi atau opini dari sistem dimana dampak dari keluaran tidak pernah menjadi tujaun utama, atau bahkan tujuan kedua. Hal ini terutama berlaku bila manajemen berbasis sekolah diimplementasikan sebagai satu strategi untuk membongkar birokrasi pusat yang besar, mahal, dan tidak responsif atau sebagai satu strategi untuk memberdayakan masyarakat dan profesional. Bahkan ketika dampak atas keluaran menjadi tujuan utama, sulit menarik kesimpulan terhadap dampak karena database tentang prestasi siswa lemah.
Satu telaah terhadap penelitian (Caldwell, 2002) menunjukkan bahwa telah ada tiga generasi studi, dan justeru pada studi generasi ketiga bahwa bukti dampak pada hasil ditemukan, tetapi hanya bila kondisi-kondisi tertentu dipenuhi. Generasi pertama adalah saat di mana dampak atas hasil tidak menjadi tujuan utama atau kedua. Generasi kedua adalah ketika dampak menjadi tujuan utama atau kedua tetapi database lemah. Ketiga, muncul pada akhir 1990-an dan dengan mengumpulnya momentum awal 2000-an, yang berbarengan dengan kepedulian terhadap hasil belajar dan pengembangan database yang kuat.
Satu implikasi penting adalah, para pemimpin sekolah harus sadar bahwa manajemen-diri tidaklah selalu berdampak pada hasil belajar siswa dan mereka harus melakukan setiap upaya untuk menjamin bahwa ada mekanisme untuk menghubungkan manajemen dengan beberapa area dalam pelaksanaan sekolah.
Hasil penelitian tentang dampak penerapan MBS terhadap mutu pendidikan ternyata sangat bervariasi. Ada penelitian yang menyatakan negatif. Ada yang kosong-kosong. Ada pula yang positif.
Penelitian yang dilakukan oleh Leithwood dan Menzies (1998a) dengan 83 studi empirikal tentang MBS menyatakan bahwa penerapan MBS terhadap mutu pendidikan ternyata negatif, “there is virtually no firm”. Fullan (1993) juga menyatakan kesimpulan yang kurang lebih sama. “There is also no doubt that evidence of a direct cause-and-effect relationship between self-management and improved outcomes is minimal”. Tidak diragukan lagi bahwa hubungan sebab akibat hubungan antara MBS dengan peningkatan mutu hasil pendidikan adalah minimal. Hal ini dapat dimengerti karena penerapan MBS tidak secara langsung terkait dengan kejadian di ruang kelas.
Sebaliknya, Gaziel (1998) menyimpulkan hasil penelitian di sekolah-sekolah Esrael bahwa ”greater school autonomy has a positive impact on teacher motivation and commitment and on the school’s achievement”.
Pemberian otonomi yang lebih besar kepada sekolah telah mempunyai dampak positif terhadap motivasi dan komitmen guru dan terhadap keberhasilan sekolah. Hasil penelitan William (1997) di Kerajaan Inggris dan New Zealand menunjukkan bahwa “the increase decision-making power of principals has allowed them to introduce innovative programs and practices”. Peningkatan kemampuan kepala sekolah dalam pengambilan keputusan telah membuat memperkenalkan program dan praktik (penyelenggaraan pendidikan) yang inovatif. Geoff Spring, arsitek reformasi di Australia Selatan dan Victoria menyatakan bahwa “school-based management has led to higher student achievement” De Grouwe (1999).
Hal yang menggembirakan juga dinyatakan oleh King dan Ozler (1998) menyatakan bahwa “enhanced community and parental involvement in EDUCO schools has improved students’ language skills and diminished absenteeism”. Jemenez dan Sawada (1998) menyimpulkan bahwa pelibatan masyarakat dan orangtua siswa mempunyai dampak jangka panjang dalam peningkatan hasil belajar.

9. Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan MBS
Konsep MBS merupakan kebijakan baru yang sejalan dengan paradigma desentraliasi dalam pemerintahan. Strategi apa yang diharapkan agar penerapan MBS dapat benar-benar meningkatkan mutu pendidikan.
1. Salah satu strategi adalah menciptakan prakondisi yang kondusif untuk dapat menerapkan MBS, yakni peningkatan kapasitas dan komitmen seluruh warga sekolah, termasuk masyarakat dan orangtua siswa. Upaya untuk memperkuat peran kepala sekolah harus menjadi kebijakan yang mengiringi penerapan kebijakan MBS. ”An essential point is that schools and teachers will need capacity building if school-based management is to work”. Demikian De grouwe menegaskan.
2. Membangun budaya sekolah (school culture) yang demokratis, transparan, dan akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah untuk membuat laporan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Model memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yang dilakukan oleh Managing Basic Education (MBE) merupakan tahap awal yang sangat positif. Juga membuat laporan secara insidental berupa booklet, leaflet, atau poster tentang rencana kegiatan sekolah. Alangkah serasinya jika kepala sekolah dan ketua Komite Sekolah dapat tampil bersama dalam media tersebut.
3. Pemerintah pusat lebih memainkan peran monitoring dan evaluasi. Dengan kata lain, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu melakukan kegiatan bersama dalam rangka monitoring dan evaluasi pelaksanaan MBS di sekolah, termasuk pelaksanaan block grant yang diterima sekolah.
4. Mengembangkan model program pemberdayaan sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan pelatihan MBS, yang lebih banyak dipenuhi dengan pemberian informasi kepada sekolah. Model pemberdayaan sekolah berupa pendampingan atau fasilitasi dinilai lebih memberikan hasil yang lebih nyata dibandingkan dengan pola-pola lama berupa penataran MBS.

APLIKASI INSTRUMENTASI BK

APLIKASI INSTRUMENTASI

A. DESKRIPSI UMUM
Dalam setiap sesuatu yang penuh arti ada arti dari dalam yang perlu diketahui sebagaimana adanya apabila seseorang hendak memberikan arti dari luar secara tepat, arti dari luar itu berupa pemahaman, penyingkapan dan perlakuan, kondisi yang diharapkan adalah kesesuaian yang setinggi-tingginya antara arti dari dalam dan arti dari luar, kemanfaatan suatu pemahaman, penyingkapan dan perlakuan sangat tergantung pada kesesuaian atau tepatan arti dari luar dan arti dari dalam, upaya pengungkapan melalui pengukuran itu dilakukan dengan memakai alat ukur atau instrument tertentu, oleh karenanya pengukuran yang dimaksudkan itu biasa juga disebut aplikasi instrumentasi, artinya kegiatan menggunakan intrumentasi untuk mengungkapkan kondisi sesuatu.
Dalam konseling kondisi individu terutama orang-orang yang potensial atau sedang menjadi klien mengandung berbagai hal yang perlu diungkapkan. Ketepatan pemahaman, penyingkapan dan perlakuan konselor terhadap kondisi individu yang dimaksud sangat tergantung pada hasil pengungkapannya, apa yang ada pada diri klien perlu diungkapkan dalam rangka penyelenggaraan layanan konseling terhadap klien.
Pengungkapan kondisi diri klien dilakukan melalui aplikasi instrumentasi, baik melalui instrument tes maupun non-tes, hasil aplikasi instrumentasi ini kemudian ditafsirkan, disikapi dan digunakan untuk memberikan perlakuan terhadap klien dalam bentuk layanan konseling atau kegiatan pendukung lainnya.
Berhubung dengan pentingnya hasil aplikasi instrumentasi dalam konseling, maka kegiatan dengan menggunakan instrument itu harus dilakukan dengan cermat, disertai penggunaan yang tepat hasil-hasilnya. Pemilhan instrument dan pelaksanaan pengukuran yang cermat, penafsiran yang akurat atas hasil-hasilnya disertai perlakuan yang akurat terhadap klien, akan merupakan sumbangan yang amat berharga bagi pelayanan bantuan terhadap klien.



B. TUJUAN
1. Tujuan umum
Tujuan umum aplikasi instrumentasi adalah diperolehnya data hasil pengukuran terhadap kondisi tertentu konseli, data ini kemudian digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk penyelanggaraan layanan konseling atau menjadi isi layanan yang dimaksudkan.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus aplikasi instrumentasi didominasi oleh fungsi pemahaman data hasil instrumentasi digunakan untuk memahami kondisi klien, seperti potensi dasar, bakat dan minat, kondisi diri dan lingkungan, masalah yang dialami dan sebagainya. Selain fungsi pemahaman fungsi pencegahan, fungsi pengentasan, fungsi pengembangan dan fungsi pengentasan juga dapat terjalankan pada aplikasi instrumentasi ini.

C. KOMPONEN
Dalam kegiatan aplikasi instrumentasi ini ada tiga komponen pokok yaitu :
1. Instrument
a. Materi yang diungkapkan
Materi yang hendak diungkapkan melalui instrument atau alat ukur tertentu jenisnya bermacam-macam, khususnya untuk keperluan konseling, materi tersebut pada umumnya menyangkut diri individu yang secara potensial memiliki sangkut paut dengan pelayanan konseling, materinya antara lain yaitu :
1. Kondisi fisik individu
2. Kondisi dasar psikologis
3. Kondisi dinamik-fungsional psikologis
4. Kondisi kegiatan dan hasil belajar
5. Kondisi hubungan sosial
6. Kondisi keluarga dan lingkungan
7. Kondisi arah ppengembangan dan kenyataan karir
8. Permasalahan yang potensial atauu sedang dialami

b. Bentuk instrument
Bentuk instrument pada dasarnya dapat dipilah menjadi dua, yaitu instrument tes dan instrument non-tes, suatu instrument disebut tes apabila jawaban responden atas soal-soal yang ada diperiksa berdasarkan benar salahnya jawaban tersebut. Tergolong dalam instrument tes adalah :
- Tes intelegensi
- Tes bakat
- Tes minat
- Tes hasil belajar
Sedangkan instrument non-tes diperiksa bukan berdaasarkan benar salahnya jawaban melainkan untuk melihat gambaran tentang kondisi responden tanpa menekan apakah kondisi responden sebagaimana adanya. Yang tergolong instrument non tes adalah :
- Angket
- Daftar pilihan
- Daftar isian
2. Responden
Responden adalah mereka yang mengerjakan instrument, baik tes maupun non-tes melalui pengadministrasian yang dilakukan oleh penyelenggara ( konselor ). Kondisi responden terbentang dalam rentangan semua karakteristik diri ( umur, jenis kelamin, koondisi fisik dan psikologis, individual atau kelompok yang memungkinkan diselenggarakannya administrasi instrument yang dimaksudkan. Tidak semua instrument cocok dan perlu digunakan untuk kelompok responden misalnya AUM PTSDL SLTP hanya cocok untuk mengungkapkan masalah anak umur SLTP.

3. Pengguna Responden
Dalam kegiatan aplikasi instrumentasi dapat dibedakan antara penyelenggara administrasi instrument dan pengguna hasil-hasilnya, instrument tes psikologi untuk mengungkapkan kondisi kepribadian yang cukup pelik hanya diselenggarakan dan hasil-hasilnya haya digunakan oleh para psikolog yang memiliki kewenangan khusus berdasarkan kaidah keprofesian. Konselor dapat menyelenggarakan tes psikologis yang lebih sederhana, seperti tes intelegensi dan tes bakat setelah menjalani pelatihan. Hasil instrument dapat digunakan konselor sebagai :
1. Perencanaan program kegiatan konseling
2. Penyelenggaraan layanan
3. Evaluasi dan proses layanan konseling
D. ASAS
Asas- asas yang digunakan dalam pelaksanaan aplikasi instrumentasi adalah sebagai berikut :
1. Asas Kerahasiaan
2. Asas Kesukarelaan
3. Asas Keterbukaan
E. PENDEKATAN DAN TEKNIK
1. Penyiapan Instrumen dan Responden
Matching antara instrument dan responden harus benar-benar tepat, artinya instrument yang dimaksudkan benar-benar cocok digunakan untuk mengungkapkan apa yang ada pada diri responden, untuk itu konselor harus perlu :

1. Memperlajari manual instrument
2. Mengidentifikasi karakteristik responden
3. Melihat kesesuaian antara instrument dan responden sehingga tidak terjadi mismatch.
4. Menyiapkan diri untuk mampu menyeleggarakan pengadministrasian instrument
5. Menyiapkan aspek teknik dan admnistrasi.
2. Pengadministrasian Instrumen
Pengadministrasian instrument pada dasarnya dilaksanakan sesuai petunjuk yang dikemukakan didalam manual. Untuk keperluan pelayanan konseling dalam arti luas, pengadministrasian instrument diawali oleh penjelasan apa, mengapa, bagaimana dan apa instrument yang dimaksudkan itu diaplikasikan kepada responden, dalam hal ini konselor harus :
 Pokok isi, bentuk, tujuan dan kegunaan instrument bagi responden
 Bagaimana menjawab atau bekerja dengan instrument itu, termasuk alokasi waktu yang disediakan.
 Bagaimana jawaban responden diolah.
 Bagaimana hasil pengolahan itu disampaikan kepada responden
 Bagaimana hasil tersebut digunakan dan apa yang perlu atau diharapkan dilakukan oleh responden.
Apa yang disampaikan konselor dapat disertai dengan Tanya jawab agar responden benar-benar dapat dijalani proses aplikasi instrument dengan sebaik-baiknya, hal ini perlu diupayakan terutama untuk menjamin tingginya realiabilitas hasil instrumentasi.
3. Pengolahan dan Pemakaian Jawaban Responden
Sesuai dengan apa yang dikemukakan didalam manual instrument, pengolahan jawaban responden dapat diolah dengan cara manual atau dengan menggunakan program computer, perhitungan statistic seringkali diperlukan,pengolahan secara manual dilakukan dengan memeriksa dan menghitung jawaban responden satu persatu dengan tangan. Sedangkan pengolahan dengan menggunakan progam computer dilakukan dengan memasukkan jawaban responden kedalam program computer yang dimaksud, kedua cara pengolahan itu akhirnya menghasilkan skor atau data dalam bentuk lain yang menggambarkan perolehan responden dari aplikasi instrument dimaksud, data ini dapat disusun dalam kemasan individual atau pun kelompok.
Data hasil instrument tersebut kemudian ditafsirkan dengan menggunakan criteria atau pun norma yang biasanya terdapat didalam manual instrument , hasil yang sudah bermakna ini sudah siap digunakan dalam rangka program pelayanan konseling.

4. Penyampaian Hasil Instrumen
Menyampaikan hasil instrument memerlukan ppencermatan tersendiri, asas kerahasiaan harus benar-benar diterapkan, hasil aplikasi minstrumentasi tidak boleh diumumkan secara terbuka dan tidak boleh pula dijadikan ppembicaraan umum, apalagi kalau didalamnya tersebut nama . hasil instrument dapat dijadikan topic bahasan terbuka , misalnya diasjikan dan didiskusikkan didalam kelas, namun tidak satu nama pun disebut dan tidak satu data pun dikaitkan dengan pribadi tertentu, apalagi kalau konotasinya negative.
Bagi konselor yang memiliki hak panggil terhadap individu yang menjadi responden dan data hasil instrument dapat dijadikan pertimbangan untuk memanggil individu tersebut dalam rangka pelayanan konseling. Patut ditekankan bahwa mereka yang dipanggil bukanlah hanya individu yang memperoleh skor rendah atau diindikasikan bermasalah, mereka yang memperoleh skor menengah dan tinggi pun perlu mendapat perhatian dan kesempatan untuk dipanggil. Meskipun responden tertentu tidak memperlihatkan tanda-tanda bermasalah, mereka perlu dipanggil dan berkesempatan untuk bertemu konselor. Pelayanan konseling yang dapat diperoleh dari konselor bagi mereka yang tidak bermasalah dapat berupa dorongan dan penguatan, perluasan wawasan dan aspirasi, penajaman sikap, pengembangan rencana kegiatan dan masa depandan sebagainya.

5. Penggunaan Hasil Instrumentasi
Hasil instrument dapat digunakan dalam seluruh spectrum kegiatan pelayanan konseling, dari perencanaan sampai dengan penilaian dan pengembangannya.
a. Perencanaan Program Konseling
Perencanaan program pelayanan konseling hendaknya disusun berdasarkan data yang diperoleh melalui aplikasi instrumentasi, disekolah misalnya program-program tahunan dan semesteran didasarkan pada data tentang variasi masalah siswa, hasil ulangan dan ujian, bakat dan minat serta kecenderungan siswa dan lain-lain.
Semua data itu dipakai dalam merencanakan isi program secara menyeluruh untuk tiap kelas, mengacu kepada kebutuhan siswa baik perorangan maupun kelompok. Program untuk berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung konseling direncanakan berdasarkan data hasil itu.

b. Penetapan Peserta Layanan
Beradasarkan data hasil instrumentasi, konselor menetapkan individu yang perlu mendapat layanan konseling tertentu, baik untuk layanan dengan format klasikal, kelompok maupun individual, kegiatan dengan format lapangan dan politik bagi calon klien dapatdirencanakan oleh konselor berdasarkan hasil instrument.
Untuk konselor yang memiliki “hak panggil” penggunaan hasil instrument dapat dilaksanakan secara langsung kepada individu (calon) klien yang dimaksud, untuk konselor yang tidak memilik hak panggil penggunaan hasil instrument mungkin diawali dengan upaya “politik” yang secara tidak langsung untuk memperoleh akses terhadap individu yang dimaksudkan, misalnya terlebih dahulu konselor menghubungi kepala sekolah, wali kelas, atau guru ( untuk para siswa disekolah ) menghubungi pimpinan lembaga ( untuk para karyawan ) dan lain-lain, dalam hal ini asas kerahasiaan tetap harus dijaga.

c. Hasil Instrumentasi Sebagai Isi Layanan
Hasil instrumentasi baik sebagian atau seluruhnya, secara langsung atau pun tidak langsung dapat dijadikan isi layanan yang hendak dilaksanakan atau sedang dilaksanakan terhadap klien, hasil pengungkapan masalah, sosiogram, data tentang intelegensi, bakat, minat dan sebagainya, dapat menjadi isi semua layanan konseling tergantung relavansinya. Konselor harus dengan cermat melihat relavansi itu dan menggunakannya secara tepat dengan penerapan asas kerahasiaan sebagaimana mestinya.

d. Hasil Instrumentasi dan Tindak Lanjut
Hasil evaluasi khususnya hasil evaluasi ( laiseg, laijapen dan laijapan ) dapat digunakan sebagai pertimbangan bagi upaya tindak lanjut pelayanan terhadap klien, kecernatan konselor terhadap kesesuaian antara hasil evaluasi dan upaya tindak lanjutnya sangat diperlukan.

e. Hasil Instrumentasi dan Upaya Pengembangan
Kaidah research and development ( R & D ) antara lain menyatakan bahwa upaya pengembangan harus didisasarkan pada data yang keakuratannya dan keandalannya terjamin, dalam hal ini data hasil instrumentasi dengan tingkat validitas dan reabilitas yang tinggi dapat secara tepat menunjang pengembangan program-program pelayanan konseling, baik untuk jangka tertentu ( misalnya satu atau dua tahun ) maupun jangka yang lebih panjang ( misalnya lima tahun ). Sebagai bahan pertimbangan untuk pengembangan data yang dimaksudkan itu sebaiknya bukan data tunggal malainkan data gabungan yang diperoleh melalui aplikasi berbagai instrument, untuk berbagai kelompok responden dalam jangka waktu yang relative memadai. Dengan data gabungan seperti itu akan tampak arah pokok atau pun benang merah yang perlu dijadikan arah dan garis besar pengembangan yang dimaksudkan.
F. KETERKAITAN
Dalam spectrum pelayanan konseling dikenal adanya Sembilan jenis layanan dan enam kegiatan pendukung disatu sisi, dan disisi lain adanya berbagai instrument yang dapat digunakan oleh konselor untuk mendukung terselenggaranya pelayanan konseling itu, diantara kedua sisi itu ada keterkaitan yang amat erat dalam arti aplikasi instrumentasi mampu mendukung kegiatan pelayanan konseling lainnya.
Semua instrument mempunyai potensi memiliki keterkaitan dengan semua jenis layanan dan kegiatan pendukung konseling, dengan kata lain semua instrument itu secara potensial dapat digunakan dan mendukung penyelenggaraan jenis-jenis layanan dan kegiatan pendukung yang dimaksud, potensi dukungan tersebut mulai dari perencanaan program, penetapan individu menjadi peserta layanan atau klien, penggunaan hasil instrumentasi sebagai isi layanan, evaluasi hasil dan proses layanan/kegiatan pendukung serta pengembangan program.
Memperhatikan berbagai hal diatas dapat disimmpulkan bahwa keterkaitan dan kegunaan aplikasi instrumentasi dalam pelayanan konseling sangat memungkinkan bahkan sangat luas daerah penggunaannya, konselor perlu menyiapkan diri untuk kemungkinan yang ada itu guna sebesar-besarnya menyukseskan pelayanan kepada klien dan seluruh individu yang menjadi tanggung jawab konselor, untuk itu konselor hendaklah memahami dan menguasai hal-hal sebagai berikut :
1. Isi materi, tujuan dan bentuk masing-masing instrument
2. Untuk siapa instrument tersebut diaplikasikan
3. Aspek teknis aplikasi instrumentasi, pengadministrasian, pengolahan jawaban, penafsiran hasil instrumentasi serta penyampaian kepada responden
4. Penggunaan hasil instrumentasi untuk pelayanan kapada klien serta penggunaan yang lebih luas untuk perencanaan dengan pengembangan program
5. Penyimpanan hasil instrumentasi
Pemakaian dan penguasaan atas hal tersebut diatas dapat diperoleh melalu latihan yang intensif, khususnya untuk aplikasi instrument tes psikologi, konselor perlu memperoleh kewenangan khusus.
G. OPERASIONALISASI KEGIATAN
Untuk mengungkapkan data yang amat penting dalam menentukan arah dan isi palayanan konseling cara-cara yang cukup rumit kadang-kadang perlu ditempuh. Oleh karena itu aplikasi instrumentasi harus direncanakan dan diselenggarakan dengan cermat, penuh perhitungan dan kehati-hatian.
1. Perencanaan
a. Menetapkan objek yang akan diukur / diungkapkan
b. Menetapkan subjek yang akan menjalani pengukuran
c. Menetapkan / menyusun instrument sesuai dengan objek yang akan diukur / diungkap
d. Menetapkan prosedur pengukuran / pengungkapan
e. Menetapkan fasilitas
f. Menyiapkan kelengkapan administrasi
2. Pelaksanaan
a. Mengomunikasikan rencana pelaksanaan aplikasi instrumentasi kepada pihak-pihak terkait
b. Mengorganisasikan kegiatan instrumentasi
c. Mengadministrasikan instrument
d. Mengolah jawaban responden
e. Menafsirkan hasil instrumentasi
f. Menetapkan arah penggunaan hasil instrumentasi


3. Evaluasi
a. Menetapkan materi evaluasi terhadap kegiatan instrumentasi serta penggunaan hasil-hasilnya.
b. Menetapkan prosedur dan cara-cara evaluasi
c. Melaksanakan kegiatan evaluasi
d. Mengolah dan menafsirkan hasil evaluasi
4. Analisis Hasil Evaluasi
a. Menetapkan norma / standar analisis
b. Melakukan analisis
c. Menafsirkan hasil analisis
5. Tindak lanjut
a. Menetapkan jenis dan arah tindak lanjut terhadap kegiatan instrumentasi serta penggunaan hasil-hasilnya.
b. Mengkomunikasikan rencana tindak lanjut kepada pihak terkait
c. Melaksanakan rencana tidak lanjut
6. Laporan
a. Menyusun laporan kegiatan aplikasi instrumentasi
b. Menyampaikan laporan kepada pihak terkait
c. Mendokumentasikan laporan kegiatan

Bimbingan Konseling Islami Tentang Musyrik

MUSYRIK
A. Pengertian Musyrik
Musyrik adalah orang yang mempersekutukan Allah, mengaku akan adanya Tuhan selain Allah atau menyamakan sesuatu dengan Allah. Perbuatan itu disebut musyrik. Syrik adalah perbuatan dosa yang paling besar, kerana itu kita harus menjauhi perbuatan yang menjerumuskan kepada syrik
Dengan demikian orang musyrik disamping menyembah Allah mengabdikan kepada Allah, juga mengabdikan dirinya kepada yang selain Allah.Jadi orag musyrik itu ialah mereka yang mempersekutukan Allah baik dalam bentuk I’tikad (kepercayaan), ucapan maupun dalam bentuk amal perbuatan. Mereka (orang musyrik) menjadikan mahkluk yang diciptakan Allah ini baik yang berupa benda mahupun manusia sebagai Tuhan dan menjadikan sebagai :
1. An dad
2. Alihah
3. Thoughut
4. Arbab.

 Alihah ialah suatu kepercayaan terhadap benda dan binatang yang menurut keyakinannya dapat memberikan manfaat serta dapat menolak bahaya. Misalnya kita memakai cincin merah delima, dan kita yakin bahawa dengan memakainya dapat menghindarkan bahaya. Adapun kepercayaan memelihara burung Terkukur dapat memberikan kemajuan dalam bidang perniagaannya. Dan itulah dinamakan Alihah, yakni menyekutukan Allah dengan binatang dan benda (Kepada Makhluk).

 Andad, sesuatu perkara yang dicintai dan dihormati melebihi daripada cintanya kepada Allah, sehingga dapat memalingkan seseorang dari melaksanakan ketaatan terhadap Allah dan RasulNya. Misalnya saja seorang yang senang mencintai kepada benda, keluarga, rumah dan sebagainya, dimana cintanya melebihi cintai terhadap Allah dan RasulNya, sehingga mereka melalaikan dalam melaksanakan kewajiban agama, kerana terlalu cintanya terhadap benda tersebut (makhluk tersebut).


 Thoghut ialah orang yang ditakuti dan ditaati seperti takut kepada Allah, bahkan melebihi rasa takut dan taatnya kepada Allah, walaupun keinginan dan perintahnya itu harus berbuat derhaka kepadaNya.

 Arbab, ialah para pemuka agama (ulama,ustad) yang suka memberikan fatwa, nasihat yang menyalahi ketentuan (perintah dan Larangan) Allah dan RasulNya, kemudian ditaati oleh para pengikutnya tanpa diteliti dulu seperti mentaati terhadap Allah dan RasulNya. Para pemuka agama itu telah menjadikan dirinya dan dijadikan para pengikutnya Arbab (Tuhan selainAllah). Bentuk musyrik ini menyesatkan terhadap perilaku manusia. Dan dengan memiliki aqidah seperti itu dapat menghilangkan Keimanan.

B. Macam-macam syrik
a. Syrik besar
Yaitu syirik yg dapat menafikan dan mewajibkan pelakunya kekal di dalam neraka apabila dia mati dalam keadaan syirik krn Allah SWT tidak akan mengampuninya yakni menyekutukan Allah dengan selain Allah (makhluk). Perilaku ini bias berupa pemujaan terhadap arwah-arwah, makhluk ghaib, jin dan sejenisnya, maupun pemujaan terhadap gunung, pohon besar, danau, mata air, binatang buas, batu besar, patung orang terkenal/shalih, dan hal-hal lainnya.
b. Syrik kecil
Syirik yg ini tidak menyebabkan pelakunya keluar dari agama tetapi dapat mengurangi pahala dan terkadang dapat menghapuskan pahala amal kebaikan seperti perbuatan riya, sombong, dll.

C. Peringkat Syirik

a. Menyembah sesuatu selain Allah
Menyembah sesuatu selain Allah adalah termasuk syrik yang paling berat dan tinggi. Mereka ini menyembah benda-benda, patung, batu, kayu, kubur bahkan manusia dan lain-lainnya. Mereka percaya bahawa benda-benda (makhluk) tersebut adalah tuhan-tuhan yang dapat mendatangkan kebaikan dan keburukan. Termasuk dalam tahap syrik seperti ini adalah mengadakan pemujaan seseorang tokoh pepimpin.

b. Mempersekutukan Allah
Artinya mempercayai bahwa makhluk selain Allah itu mempunyai sifat-sifat seperti yang ada pada Allah. Dalam kategori mempersekutukan Allah ini adalah faham Trinti menurut kepercayaan Kristian, begitu faham Trimurti menurut kepercayaan agama Hindu, yang mempercayai bahawa Tuhan itu ada tiga, iaitu Brahman (tuhan menciptakan alam seisinya),Wisnu(Tuhan yang memelihara Alam) dan Syiwa (Tuhan yang menghancurkan alam).

c. Mempertuhankan manusia
Mempertuhankan manusia atau menjadikan manusia sebagai tuhannya adalah termasuk syrik atau mempersekutukan Allah. Termasuk didalam mengtuhankan manusia itu adalah pemuka-pemuka agama,ulama, pendita, para auliya’,para solehin dan sebagainya. Dalam ajaran ilmu Tauhid terlalu mengagungkan, mendewakan seseorang itu dinamakan Ghuluwwun. artinya keterlaluan dalam mengagungkan dan meninggikan derajat makhluk sehingga ditempatkan pada kedudukan yang bukan sepatutnya menempati kedudukan itu kecuali Allah

D. Bahaya Syirik
Firman Allah:
“Maka apakah orang kafir (musyrik) menyangka bahawa mereka (dapat) mengambil hamba-hamba-Ku menjadi penolong selain Aku? Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka jahanam tempat tinggal bagi orang-orang kafir(musyrik)” [Qs Al Kahfi:102]

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampunkan dosa syrik, dan Dia mengampuni dosa-dosa selain dari syrik itu bagi siapa yang dikehendakiNya. BArangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya” [Qs At Taubah:113]

E. Proses terjadinya syirik
Bahwa pemujaan terhadap selain Allah akan menjadikan seseorang sebagai musyrik. Pemujaan ini timbul karena, si pemuja merasakan kekerdilan dirinya, ia melihat dirinya sebagai makhluk yang lemah, tiada daya bahkan terhadap nasib baik atau buruk bagi dirinya ia tidak dapat menentukan dan merasa hidupnya tergantung pada sesuatu di luar dirinya. Ketidak berdayaan ini melahirkan sikap pasrah terhadap sesuatu yang dianggap menetukan nasib baik buruknya, kepasrahan inilah yang mengantarkan pada pemujaan atau kultus terhadap seuatu yang dianggap luar biasa tadi. Inilah awal munculnya syirik.
Umpama, manusia bila dihadapkan dengan bencana alam: gunung meletus, laut meluap pasang dengan ombaknya yang menggulung, gempa bumi, banjir, angin topan, apa yang dimilkinya selama ini tidak akan mampu menghadapi bencana itu. Maka tepikirkan olehnya, kemarahan alam tadi sebagai bentuk ketidak tertundukan manusia atau pembangkangan manusia terhadap sesuatu yang dianggap menggerakkan bencana tadi. Hal ini karena ketika alam tidak menimbulkan bencana, dianggap manusia telah memenuhi tuntutan sesuatu yang dianggap sumber bencana. Maka manusia terkadang menghubungkan gunung meletus dengan makhluk penjaga gunung, bila laut menimbulkan bencana maka terlintas dipikirannya makhluk pnjaga laut dan seterusnya. Untuk meredam kemurkaan makhluk tadi m aka manusia kemudian membuat upacara-upacara ritual/pemujaan terhadap makhluk-makhluk yang dianggap mendatangkan bencana tadi. Ini kemunculan syirik. Bahkan terhadap orang yang dianggap solih sekapun, syirik dapat muncul. Ini karena orang shalih tadi dipandang sebagai orang yang dapat menentukan nasib baik dirinya. Dengan perantaraan orang sholih ini, dirinya merasa mendapat keberuntungan nasib baik. Maka muncul pula pemujaan terhadap diri orang shalih tadi baik ketika ia masih hidu atau sesudah matinya.Ini yang sebab yang pertama.
Adapun sebab yang kedua adalah karena ketidaktahuan manusia akan Dzat Allah Subhanahu wa ta’ala. Bahwa dirinya dan seluruh alam jagad raya ini adalah,pada hakekatnya sama dengan dirinya, sebagai makhluk Allah SWT. Maka karenanya tidak akan dapat menentukan nasib baik atau buruk bagi manusia. Bencana atau keberuntungan manusia adalah ditentukan manusia itu sendiri atas ijin Allah swt. Gunung meletus, gempa bumi yang mencelakakan manusia bukan karena kemurkaan makhluk penunggu keduanya tetapi atas kehendak Allah SWT terjadilah bencana itu. Maka pemahamaan akan Allah menjadi sesuatu yang mutlak diketahui oleh manusia agar terhindar dari syirik. Apapun yang menjadi sebab bagi celaka atau berutungnya manusia adalah karena ijin Allah semata, tanpa ijin Allah apapun tidak akan bisa memberikan pengaruh bagi manusia. Karena itulah harus dipahami bahwa Allahlah yang menggerakkan seluruh kehidupan jagad raya ini. Bukan karena dewa-dewa atau makhluk halus tertentu. Juga makhluk yang dapat membahayakan manusia itu juga karena ijin atau kuasa Allah semata.
F. Tujuan orang melakukan syirik
Ada beberapa tujuan umat manusia melakukan perbuatan syirik diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Ingin mendapatkan perubahan dalam kehidupannya
2. Ingin mendapatkan keuntungan dari perbuatan syirik yang dilakukannya
3. Ingin terbebas dari mala petaka yang dianggapnya akan menimpa dia

G. Contoh perbuatan syirik
1. Jampi-jampi
2. Tangkal, jimat
3. Menyembah pohon, kuburan, batu, patung, gunung, matahari
4. Dll.




H. Dalil-dalil perbuatan syirik

               
13. dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". ( luqman : 13 )

•                     
48. Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. ( an Nisaa : 48 )

H.R Akhmad dan Abu Dawud










Dari Ibnu Mas’ud r.a dikatakan, “Aku dengan Rasulullah saw bersabda “mantera, tangkal dan guna-guna adalah syirik”.







Hadist Riwayat “Tarmidzi”










Hadist dari Umar bin Khatab mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda “barang siapa yang bersumpah dengan selain nama Allah maka dia kafir atau syirik”.

I. Asas yang terkait dengan Musryik
Asas yang terkait dengan permasalahan yang diangkat yaitu sebagai berikut :
1. Asas Ketauhidan
2. Asas Ketaqwaan

J. Persoalan ( klien yang mengalami )
Nama : J P
Jenis kelamin : laki-laki
Umur : 45 tahun
Pekerjaan : PNS
Alamat : Tanjung Pauh
Masalah : memakai jimat untuk pelaris took

JP adalah salah seorang penduduk desa tanjung pauh dan berprofesi sebagai guru sekolah dasar dann seorang PNS, namun disamping sebagai seorang pegawai negeri sipil JP juga mempunyai usaha sampingan dirumahnya yaitu membuka warung lontong yang dijaga oleh istrinnya.
Agar usaha sampingan yang dibuka oleh JP berjalan lancer dan banyak pembelinya JP pun pergi keseorang dukun untuk meminta jimat atau penglaris agar banyak pembeli yang datang kewarungnya tersebut.

Oleh sang dukun JP diberi sebuah telur angsa untuk ditanam disamping warung JP tersebut, dan JP pun percaya kepada telur angsa yang diberikan sang dukun tersebut dan JP pun menanam telur angsa itu.
K. Nara Sumber untuk pelaksanaan bimbingan
Nara sumber yang terkait dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling islami ini adalah sebagai berikut :
1. Ahli agama ( ustadz, kiyai, dll )
2. Konselor

L. Materi Bimbingan
1. Surat luqman : 13 11. Surat al israa’ : 22
2. Surat an nisa : 36 12. Surat al bayyinah : 1-7
3. Surat al an’am : 151 13. Surat az zumar : 65
4. Surat annisa : 48 14. Surat al ankabut : 65
5. Surat at taubah : 48 15. Surat yunus : 106
6. Surat at taubah : 31 16. Surat al ahqaf : 5-6
7. Surat al kahfi : 102 17. Surat al father : 13-14
8. Surat luqman : 13 18. H.R. Ibnu Abi Hatim dari Hudaifa
9. Surat an naml : 24 19. H.R. Ahmad dan Abu Daud
10. Surat yasin : 74-75 20. H.R. Tarmidzi
21. H.R. Muslim
22. H.R. 4 Sunan ahli hadist dan Al Hakim
M. Follow Up ( Tindak Lanjut )
Tindak lanjut yang dilakukan sesuai dengan hasil penilaian setelah dilaksanakan layanan bimbingan konseling islam tersebut, dalam layanan ini penilaian yang dilakukan adalah penilaian jangka panjang ( laijapan) setelah dilakukan penilaian barulah bisa dilakukan tindak lanjut.